Pages

Sabtu, 14 Mei 2011

Puisi Kehidupan

KEHIDUPAN


Kehidupan ibarat sebuah pulau
Di tengah berimbunan samudera kesunyian
Sebuah pulau
Yang batu-batunya adalah harapan
Pohon-pohonnya adalah impian
Bunga-bunganya adalah kesunyian
Sungainya adalah kehausan
Sekuntum bunga violet
Mungil dan wangi hidup dalam ketentraman
Bersama teman-temannya
Ia terayun penuh kedamaian
Diantara kembang lainnya
read more “Puisi Kehidupan”

Senin, 28 Juni 2010

Banyak orang beranggapan kalau doktrin wahdat al-wujud berasal dari atau diciptakan oleh tokoh sufi kontroversial dari Andalusia, Ibn Arabi. Pendapat ini terus bertahan lama, bahkan mungkin hingga saat sekarang. Namun, belakangan tersiar kabar, bahwa berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat, seperti William C. Chittick, peneliti yang sangat intens mengkaji karya-karya Ibn Arabi, ternyata tidak pernah ditemukan istilah teknis wahdat al-wujud dalam karya sufi yang dijuluki syaikh akbar itu. Lalu siapakah dan dari manakah istilah tersebut berasal?
Menurut Kautsar Azhari Noer (1995), meskipun doktrin wahdat al-wujud dihubungakan dengan Ibn Arabi, doktrin yang kira-kira sama atau senada dengannya telah diajarkan beberapa sufi jauh sebelum Ibn Arabi. Ma’ruf Al-Karkhi (200/815), seorang sufi terkenal di Baghdad yang hidup empat abad sebelum Ibn Arabi, dianggap pertama kali mengungkapkan syahadat dengan kata-kata: “Tiada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah”. Abu Abbas Qassab (hidup pada abad ke-4/ke-10) mengungkapkan kata-kata senada: “Tiada sesuatu pun dalam dua dunia kecuali Tuhanku. Segala sesuatu yang ada (maujudat), segala sesuatu selain wujud-Nya, adalah tiada (ma’dum).”
Khwaja Abdallah Ansari (481/1089) menyatakan bahwa, “tawhid orang-orang terpilih” adalah doktrin “Tiada sesuatu pun selain Dia (laysa ghayrahu ahad).” Jika ia diajukan pertanyaan: “Apa tawhid itu?”, ia menjawab: “Tuhan, dan tidak ada yang lain: Yang lain adalah kebodohan (hawas).” Selain itu, lanjut Kautsar, sufi lain sebelum Ibn Arabi yang lebih kurang mengemukakan pernyataan-pernyataan yang dianggap mengandung doktrin wahdat al-wujud ialah Abu Hamid Al-Ghazali (505/1111) dalam Misykat Al-Anwar dan Ihya’ ‘Ulum Ad-Din, termasuk juga saudaranya Ahmad Al-Ghazali (520/1126) dan Ayn Al-Qudat Hamadani (526/1132).
Dari sana, tampaklah jelas kalau Ibn Arabi bukan pencetus pertama atas penggunaan istilah wahdat al-wujud. Ia mungkin dianggap sebagai pendiri doktrin wahdat al-wujud lantaran ajaran-ajarannya memang mengandung ide dan konsep wahdat al-wujud. Misalnya, di dalam lembaran karya monumentalnya, Futuhat Al-Makkiyah dikatakan: “Tiada yang tampak dalam wujud melalui wujud kecuali Al-Haqq, karena wujud adalah Al-Haqq, dan Dia adalah satu”; “Wujud bukan lain dari Al-Haqq karena tidak ada sesuatu pun dalam wujud selain Dia”; “Entitas wujud adalah satu, tetapi hukum-hukumnya beraneka.”
Dalam tulisannya yang lain, Risalah fi Al-Walayah, Ibn Arabi menurut Claude Addas (1989), menjelaskan alasannya mengapa ia menggunakan sejumlah ungkapan yang rentan disalahpahami pembaca, seperti “qala li al-haqq” (Allah berkata kepadaku), “qultu lahu” (aku berkata kepada-Nya), atau “asyhadani al-haqq” (Allah menjadi saksi atasku). Ibn Arabi memberikan penjelasan memadai, bahwa dalam mengungkapkan dirinya dengan cara ini, ia hanya mengikuti para pendahulunya seperti penulis Kitab Al-Mawaqif, An-Niffari (354/965).
Membaca risalah An-Niffari itu sungguh membuat jantung berdetak kencang, karena dalam setiap bait tulisannya diikuti oleh ungkapan-ungkapan tersebut di atas, layaknya hadits qudsi, firman Tuhan yang dilembagakan dalam sebuah hadits shahih. Di samping itu, dengan mengikuti para pendahulunya, semakin menguatkan anggapan bahwa Ibn Arabi memang bukan peletak dasar ide wahdat al-wujud.
Yang mengherankan, jikalau banyak orang beranggpan wahdat al-wujud sebagai puncak pengalaman mistik bagi seorang sufi, tapi dalam pandangan Farghani, adalah taraf terendah di antara tiga taraf perkembangan spiritual yang dilalui oleh salik (pejalan spiritual). Kontemplasi tentang katsar al-‘ilm adalah taraf kedua. Pemaduan wahdat al-wujud dan katsar al-‘ilm adalah taraf tertinggi (Noer, 1995).
Penggunaan konsep atau istilah wahdat al-wujud secara teknis sebenarnya dipopulerkan oleh murid dan generasi setelah Ibn Arabi. Sadr Ad-Din Al-Qunawi (673/1274), Mu’ayyid Ad-Din Jandi (690/1291), Said Ad-Din Farghani (700/1301), Ibn Sabi’in, Awhad Ad-Din Balyani (686/1288) adalah tokoh-tokoh penting yang menyebarkan pemikiran Ibn Arabi dan menyebarkan paham wahdat al-wujud-nya.
Dalam perkembangan selanjutnya, wahdat al-wujud malah dipopulerkan oleh pengecamnya yang paling keras, Taqi Ad-Din Ibn Taymiyyah (728/1328). Ibn Taymiyyah menerapkan wahdat al-wujud untuk menujukkan istilah lain terhadap kedudukan kaum penganut ittihad (penyatuan). Bahkan, dua karyanya diberi judul yang langsung “tunjuk hidung”: Ibtal Wahdat Al-Wujud dan Risalah ila Man Aa’alahu ‘an Haqiqat Madzhab Al-Ittihadiyyah ay Al-Qa’ilin bi-Wahdat Al-Wujud. Ibn Taymiyyah menyamakan wahdat al-wujud dengan istilah ittihad, hulul (inkarnasionisme), dan dianggap bid’ah (kesesatan yang mengada-ada dalam agama).
Di salah satu karyanya yang banyak dibaca orang, Majmu’at Ar-Rasa’il wa Al-Masa’il, Ibn Taymiyyah menarik kesimpulan tegas kalau wahdat al-wujud adalah penyamaan antara Tuhan dengan alam, yang dalam istilah modern sinonim dengan “panteisme”. Kata Ibn Taymiyyah: “Orang-orang yang berpegang pada wahdat al-wujud mengatakan bahwa, wujud adalah satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh Sang Pencipta adalah sama dengan wujud kemungkinan yang dimiliki makhluk.”
read more “ ”

HAK WANITA YANG TELAH DI TALAK TERHADAP SUAMI


HAK WANITA YANG TELAH DI TALAK TERHADAP SUAMI

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada zaman jahiliyah wanita sangatlah rendah derajatnya di bandingkan dengan seorang laki-laki,sering kali serajat wanita tiada berharga di hadapan peradaban manusia diinjak-injak kehormatan dan harga dirinya dan sebelum turunnya alqur’an walaupun sesudah islam masuk. Dan setelah alqur’an diturunkan barulah derajat wanita di tinggikan, sebab dalam alqur’an banyak sekali ayat-ayat yang mengandung isi yang tidak lain isinya untuk meninggikan mengangkat derajat wanita. Seperti ayat berikut :

             •      • 
Artinya :
bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
Sebelim ayat di atas diturunkan tidak pernah ada sedikitpun hak bagi kaum wanita untuk memiliki harta bapak ibunya setelah mereka meninggal. Maka dari itu alqur’an lah yang sangat berjasa mengangkat derajat wanita. Di sini saya mencoba menjelaskan apa hak seorng wanita terhadap suami yang menceraikannya sebelum sang suami menjimaknya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. hak wanita yang dicerai terhadap suami
hak waniata terhadap suami di dalam kehidupan ini sangatlah banyak, diantaranya hak untuk di nafkahi lahir dan batin, hak untuk di cintai, hak untuk di sayangi, dan lain-lain. Ada pula hak wanita yang tidak terlalu di perhatikan dalam kalangan awam / orang-orang jaman sekarang, yaitu hak seorang istri yang ditalak oleh sang suami. Dalam masalah ini hak seorang istri sangatlah tidak di gubris oleh suami meskipun sang suami merasa bertanggung jawab. Padahal sang suami harus menunaikan kewajibannya terhadap istri ketika istri di ceraikan, terutama pada masa iddah ( masa menunggu ). Ketika sangsuami menceraikan istri sangatlah banyak kewajiban sumi terhadap istri, begitupula hak sang istri terhadap suami, diantaranya hak istri untuk mendapatkan tempat tinggal, hak untuk di nafkahi selama masa iddah, dan lain-lain . Banyak sekali di kalangan orang awam seperti di desa saya contohnya, seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita yang ia sukai lalu ada masalah dalam rumah tangganya dan terpaksa bercerai maka barang yang telah ia bawa dan di berikan pada iatrinya ia ambil kembali, bukannya member malah menari kembali pemberiannya, sedangkan di Al-qur’an surat annisa’ ayat 20 telah dijelaskan bahwa tidak boleh mengambil kembali pemberian seorang suami terhadap istri yang berbunyi,


    •              
Artinya
dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? ( annisa’ ayat 20 )

B. hak wanita yang di cerai ( tetapi masih suci terhadap) suami
banyak suaimi istri yang masih belum paham tentang masalah talaq, apa lagi anak muda jaman sekarang yang belum-belum syudah menikah, talaq banayak fersi ada talaq sugro, talaq kubra, talaq 1 sampai talaq 3. Masalahnya bukan talaq yang bermacam-macam fersinya seperti yang telah di paparkan di atas, tapi talaq di sini adalah talaq yang di lakukan pada masa dimana sang istri masih belum di jimak ( di setubuhi ), pada talaq ini orang-orang banyak orang yang tidak mempermasalahkannya terutama pada kalangan awam, talak yang sudah jelas seperti di atas tidak di hiraukan apalagi talak yang ini agak-agak ruet tapi ringan. Sedanggkan di sini hak seorang laki-laki ( suami ) dan seorang perempuan ( istri ) telah di tentukan dalam Al-qur’an seperti dalam ayat-ayat berikut .

                       
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (Al zahab ayat 49 )

                           
Artinya :
tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. ( al baqarah ayat 236 )



                                 •     
artinya :
jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan. ( al baqarah ayat 237 )
Maka sesunggunya dngan adanya ayat di atas maka tegaslah ( jealas ) hukumnya bagi laki-laki (suami) yang menceraikan wanita ( istri ) dalam keadaan suci ( masih belum di setubuhi ) maka sang suami tidak wajib membayar mahar, kecuali sang suami telah menentukan maharnya maka sang suami wajib membayar seper dua dari mahar yang telah di tentukan. Tetapi alangkah baiknya jika swang suami memberikan semuanya kepada sang istri dikarwnakan adanya harapan bagi istri yang telah di nikahi . Dan hukumnya bagi sang suami yang masih belum menentukan maharnya maka wajib atasnya memberikan mut’ah, seperti yang telah di tentukan pada ayat di atas. Mut’ah ialah hadiah bagi si istri untuk mengobati sahkit hatinya ( untuk pelipur lara )
C. PERINCIAN AYAT-AYAT DI ATAS
Ayat-ayat diatas bardasarkan munasabahnya telah berhubungan antara satu dengan yang lain, oleh sebab itu tulisan ini mengambil dari ayat-ayat tersebut. Seperti surah al baqarah ayat 236 dengan al azhab ayat 49 yang mana di sana sama-sama menerangkan tentang pemberiam mut’ah kepada istri yang di ceraikan selama masih belum di setubuhi, dan juga ayat diatas menjelaskan istri bahwasanya tidak wajib bagi suami untuk memberi mahar kepada istri dalam kasus ini, sehubungan dengan ayat diatas ( al azhab ayat 49 ) banyak ulama yang berbeda dalam masalah bacaan akan tetapi tidak akan merubah sedikitpun dalam arti maupun hukum ayat tersebut. Contoh seperti hamzah dan al-kisa’I ia membaca     dan abu amr, ibn Amir, Asim, dan Nifa membaca    . Sedangkan munasabahnya yaitu .
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ ( شَيْءٍ عَلِيمٌ)

Ibnu Jarir mengetengahkan dari jalur Aufi dari Ibnu Abbas, katanya, "Ada seorang laki-laki yang menceraikan istrinya lalu rujuk kepadanya sebelum habis idahnya, kemudian diceraikannya kembali. Hal itu dilakukannya untuk menyusahkannya dan menghalanginya jatuh ke tangan laki-laki lain. Maka Allah pun menurunkan ayat ini." Diketengahkan pula dari As-Sadiy, katanya, "Ayat ini turun mengenai seorang laki-laki Ansar bernama Tsabit bin Yasar yang menceraikan istrinya, lalu jika masa idahnya tinggal dua atau tiga hari lagi, maka ia rujuk kembali kepadanya dengan tujuan untuk menyusahkannya. Maka Allah swt. pun menurunkan, 'Dan janganlah kamu rujuk kepada mereka dengan maksud untuk menyusahkan mereka, karena dengan demikian berarti kamu melakukan penganiayaan!'" (Q.S. Al-Baqarah 231) Ibnu Abu Umar mengetengahkan dalam Musnadnya dan oleh Ibnu Murdawaih dan Abu Darda, katanya, "Ada seorang laki-laki yang menjatuhkan talak, lalu katanya, 'Saya hanya bermain-main', lalu ia membebaskan budak dan katanya, 'Saya hanya bergurau', maka Allah pun menurunkan, 'Dan janganlah kamu jadikan ayat-ayat Allah sebagai barang permainan!'" (Q.S. Al-Baqarah 231) Riwayat yang serupa dengan itu dikeluarkan pula oleh Ibnu Mundzir dari Ubadah bin Shamit, begitu pula oleh Ibnu Murdawaih dari Ibnu Abbas, dan oleh Ibnu Jarir dari mursal hasan. Sedangkan menurut penggolongannya ayat diatas ( al azhab ayat 49 ) tergolong ayat madaniah kerna mengandung ciri-ciri sebagai berikut.
1. tidak mengandung lafat kalla
2. ayat ini tidak mengandung bunyi seruan seperti ياايهااناس dan ياايهاالذينامنو
3. ayat di atas menjelaskan tentang hukum.
4. tidak menjelaskan kesah nabi.
5. bukan ayat sajadah.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum wanita ditalak sebelummenikh adalah sama dengan hukum talak biasa, Cuma berbeda dalam hak dan masa iddahnya saja, pada talak yang biasa ( telah di jimak ) terdapat masa iddah sedangkan pada talak sebelum di jimak tidak terdapat masa iddah, dan sang suami tidak di wajibkan membayar mahar sebelum mahar itu di tentukan, dan berkewajiban memberi mut’ah, sedangkan pada talak yang sudah di jimak wajib membayar mahar.

DAFTAR PUSTAKA

ا لبا جو رى عل ابن قسم jus dua
Al qur’an terjemah
Anwar, rasihon. Ulum Al-qur’an ( bandung pustaka setia ), 2008
Quraish shihab, Tafsir al misbah, ciputat lentera hati, 2000
Abu bakr jabir Al-jazairi, Ensiklopedi muslim, darul falah 2008



read more “HAK WANITA YANG TELAH DI TALAK TERHADAP SUAMI”