Pages

Senin, 28 Juni 2010

Banyak orang beranggapan kalau doktrin wahdat al-wujud berasal dari atau diciptakan oleh tokoh sufi kontroversial dari Andalusia, Ibn Arabi. Pendapat ini terus bertahan lama, bahkan mungkin hingga saat sekarang. Namun, belakangan tersiar kabar, bahwa berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat, seperti William C. Chittick, peneliti yang sangat intens mengkaji karya-karya Ibn Arabi, ternyata tidak pernah ditemukan istilah teknis wahdat al-wujud dalam karya sufi yang dijuluki syaikh akbar itu. Lalu siapakah dan dari manakah istilah tersebut berasal?
Menurut Kautsar Azhari Noer (1995), meskipun doktrin wahdat al-wujud dihubungakan dengan Ibn Arabi, doktrin yang kira-kira sama atau senada dengannya telah diajarkan beberapa sufi jauh sebelum Ibn Arabi. Ma’ruf Al-Karkhi (200/815), seorang sufi terkenal di Baghdad yang hidup empat abad sebelum Ibn Arabi, dianggap pertama kali mengungkapkan syahadat dengan kata-kata: “Tiada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah”. Abu Abbas Qassab (hidup pada abad ke-4/ke-10) mengungkapkan kata-kata senada: “Tiada sesuatu pun dalam dua dunia kecuali Tuhanku. Segala sesuatu yang ada (maujudat), segala sesuatu selain wujud-Nya, adalah tiada (ma’dum).”
Khwaja Abdallah Ansari (481/1089) menyatakan bahwa, “tawhid orang-orang terpilih” adalah doktrin “Tiada sesuatu pun selain Dia (laysa ghayrahu ahad).” Jika ia diajukan pertanyaan: “Apa tawhid itu?”, ia menjawab: “Tuhan, dan tidak ada yang lain: Yang lain adalah kebodohan (hawas).” Selain itu, lanjut Kautsar, sufi lain sebelum Ibn Arabi yang lebih kurang mengemukakan pernyataan-pernyataan yang dianggap mengandung doktrin wahdat al-wujud ialah Abu Hamid Al-Ghazali (505/1111) dalam Misykat Al-Anwar dan Ihya’ ‘Ulum Ad-Din, termasuk juga saudaranya Ahmad Al-Ghazali (520/1126) dan Ayn Al-Qudat Hamadani (526/1132).
Dari sana, tampaklah jelas kalau Ibn Arabi bukan pencetus pertama atas penggunaan istilah wahdat al-wujud. Ia mungkin dianggap sebagai pendiri doktrin wahdat al-wujud lantaran ajaran-ajarannya memang mengandung ide dan konsep wahdat al-wujud. Misalnya, di dalam lembaran karya monumentalnya, Futuhat Al-Makkiyah dikatakan: “Tiada yang tampak dalam wujud melalui wujud kecuali Al-Haqq, karena wujud adalah Al-Haqq, dan Dia adalah satu”; “Wujud bukan lain dari Al-Haqq karena tidak ada sesuatu pun dalam wujud selain Dia”; “Entitas wujud adalah satu, tetapi hukum-hukumnya beraneka.”
Dalam tulisannya yang lain, Risalah fi Al-Walayah, Ibn Arabi menurut Claude Addas (1989), menjelaskan alasannya mengapa ia menggunakan sejumlah ungkapan yang rentan disalahpahami pembaca, seperti “qala li al-haqq” (Allah berkata kepadaku), “qultu lahu” (aku berkata kepada-Nya), atau “asyhadani al-haqq” (Allah menjadi saksi atasku). Ibn Arabi memberikan penjelasan memadai, bahwa dalam mengungkapkan dirinya dengan cara ini, ia hanya mengikuti para pendahulunya seperti penulis Kitab Al-Mawaqif, An-Niffari (354/965).
Membaca risalah An-Niffari itu sungguh membuat jantung berdetak kencang, karena dalam setiap bait tulisannya diikuti oleh ungkapan-ungkapan tersebut di atas, layaknya hadits qudsi, firman Tuhan yang dilembagakan dalam sebuah hadits shahih. Di samping itu, dengan mengikuti para pendahulunya, semakin menguatkan anggapan bahwa Ibn Arabi memang bukan peletak dasar ide wahdat al-wujud.
Yang mengherankan, jikalau banyak orang beranggpan wahdat al-wujud sebagai puncak pengalaman mistik bagi seorang sufi, tapi dalam pandangan Farghani, adalah taraf terendah di antara tiga taraf perkembangan spiritual yang dilalui oleh salik (pejalan spiritual). Kontemplasi tentang katsar al-‘ilm adalah taraf kedua. Pemaduan wahdat al-wujud dan katsar al-‘ilm adalah taraf tertinggi (Noer, 1995).
Penggunaan konsep atau istilah wahdat al-wujud secara teknis sebenarnya dipopulerkan oleh murid dan generasi setelah Ibn Arabi. Sadr Ad-Din Al-Qunawi (673/1274), Mu’ayyid Ad-Din Jandi (690/1291), Said Ad-Din Farghani (700/1301), Ibn Sabi’in, Awhad Ad-Din Balyani (686/1288) adalah tokoh-tokoh penting yang menyebarkan pemikiran Ibn Arabi dan menyebarkan paham wahdat al-wujud-nya.
Dalam perkembangan selanjutnya, wahdat al-wujud malah dipopulerkan oleh pengecamnya yang paling keras, Taqi Ad-Din Ibn Taymiyyah (728/1328). Ibn Taymiyyah menerapkan wahdat al-wujud untuk menujukkan istilah lain terhadap kedudukan kaum penganut ittihad (penyatuan). Bahkan, dua karyanya diberi judul yang langsung “tunjuk hidung”: Ibtal Wahdat Al-Wujud dan Risalah ila Man Aa’alahu ‘an Haqiqat Madzhab Al-Ittihadiyyah ay Al-Qa’ilin bi-Wahdat Al-Wujud. Ibn Taymiyyah menyamakan wahdat al-wujud dengan istilah ittihad, hulul (inkarnasionisme), dan dianggap bid’ah (kesesatan yang mengada-ada dalam agama).
Di salah satu karyanya yang banyak dibaca orang, Majmu’at Ar-Rasa’il wa Al-Masa’il, Ibn Taymiyyah menarik kesimpulan tegas kalau wahdat al-wujud adalah penyamaan antara Tuhan dengan alam, yang dalam istilah modern sinonim dengan “panteisme”. Kata Ibn Taymiyyah: “Orang-orang yang berpegang pada wahdat al-wujud mengatakan bahwa, wujud adalah satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh Sang Pencipta adalah sama dengan wujud kemungkinan yang dimiliki makhluk.”

0 komentar:

Posting Komentar